Minggu, 17 Februari 2008

Ternyata mengelola lebih menguntungkan

Saya adalah seorang kayawan perusahaan swasta, teknisi bagian perawatan mesin. Sudah hampir 10 tahun saya bekerja di perusahaan yang sekarang. Sudah berkeluarga dan memiliki 1 orang anak perempuan berusia 10 tahun. Setiap pulang kerja saya selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan ceritanya di sekolah hari itu. Kebahagiaan saya saat mendengar ceritanya rasanya sulit digambarkan.

Tetapi hari ini lain, saya terpaksa pulang cepat dari kantor karena ada berita anak saya ini sakit, demam tinggi secara tiba-tiba. Padahal hari itu masih ada tugas yang belum saya selesaikan, beberapa mesin belum selesai saya inspeksi. Tetapi untunglah perusahaan saya sangat perhatian dengan keluarga karyawannya sehingga saya diijinkan pulang cepat. Bahkan kendaraan dinas saya pun boleh dibawa, kalau-kalau perlu membawa anak saya ke rumah sakit.

Rasanya ada sesuatu yang dicabut dari hati saya waktu mendengar anak saya ini demam tinggi. Apa jadinya saya kalau ada apa-apa dengan anak saya? Lalu apa artinya saya bekerja keras selama ini kalau tidak bisa melindungi keluarga saya? Dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hati itu, saya pacu kendaraan dinas saya untuk cepat sampai di rumah.

Sesampainya di rumah, saya langsung menggendong anak saya masuk ke mobil dan membawanya ke dokter. Untung istri saya cepat tanggap, sebelum saya datang dia sudah mempersiapkan diri untuk membawa anak kami ke dokter. Sayangnya dokter langganan kami saat itu sedang tidak praktek, beliau sedang di luar kota. Tetapi saat ditelpon beliau menyarankan untuk langsung dibawa ke rumah sakit bagian gawat darurat, ”Takutnya tifus atau demam berdarah Pak.” begitu katanya.

Saya langsung membawa anak saya ke rumah sakit langganan perusahaan, di sana anak saya langsung ditangani. Sayangnya saat itu banyak pasien yang baru masuk sehingga dokter tidak bisa segera memeriksa anak saya. Setelah menunggu cukup lama baru anak saya diperiksa dokter. Dokter menyarankan anak saya diuji lab untuk memastikan penyakitnya, apakah demam berdarah atau tifus.

Saya memutuskan untuk mengambil cuti yang tersisa untuk mendampingi anak saya yang ternyata terkena demam berdaran dengue (DBD), karena walaupun saya memaksakan masuk kantor saya tidak dapat memfokuskan pikiran saya pada pekerjaan. Selama beberapa hari itu saya baru tahu bahwa justru setelah demamnya turun malah merupakan masa kritis bagi penderita DBD, saat di mana keluarga pasien sudah berlega hati dan melonggarkan kewaspadaan, bahkan ada yang membawa pasien pulang ke rumah. Banyak sekali kesalahan keluarga pasien yang sering terjadi yang membahayakan pasien karena keterbatasan pengetahuan.

Saya termasuk beruntung karena sebagai karyawan perusahaan keluarga saya dilindungi asuransi, seluruh biaya pengobatan ditanggung, memiliki dokter dan rumah sakit langganan perusahaan, perusahaan saya juga bertoleransi memberi kesempatan karyawannya menyelesaikan urusan kesehatan keluarganya. Bayangkan kalau saya tidak mendapatkan semua kemudahan itu, betapa paniknya saya, berapa banyak biaya yang harus disediakan, bagaimana saya bisa konsentrasi bekerja? Saya bersyukur pada Tuhan karena mendapat perusahaan yang baik. Tetapi di luar itu semua saya baru menyadari bahwa segala kemudahan yang saya miliki untuk kesehatan keluarga saya hanyalah untuk rehabilitasi. Dokter, rumah sakit, asuransi, kesempatan cuti, semuanya hanya berfungsi saat ada yang sakit, tetapi tidak ada program yang mencegah agar keluarga saya tidak sakit. Sebagai teknisi mesin saya mengetahui bahwa lebih baik mencegah daripada memperbaiki, lebih baik mengelola kesehatan daripada mengobati.

Saat ini saya mengikuti program kesehatan yang membuat keluarga saya bisa mengelola kesehatan secara praktis, mengenali jenis-jenis penyakit sebelum parah dan bahkan membantu orang lain mengelola kesehatan keluarganya. Kalau anda pun seperti saya, keluarga sebagai prioritas, saya sarankan untuk mulai memikirkan cara mencegah keluarga anda terhindar dari penyakit daripada mengandalkan pengobatan ketika penyakit sudah menyerang.


Kiriman dari salah seorang teman di luar Bandung, nama dan tempat dihapuskan, kalimat agak diformalkan.